Tidak bisa dipungkiri, di era modern ini, segala sesuatu
yang berbau dengan teknologi sangat digemari. Salah satunya, teknologi dalam
hal fotografi. Semenjak munculnya teknologi kamera depan dengan kualitas
canggih, semakin meningkat pula gairah seseorang untuk berfoto. Di saat yang
sama, muncul sebuah istilah yakni, selfie. Yang secara tidak langsung, selfie
artinya memotret diri kita sendiri (baca: berasal dari kata self atau diri sendiri).
Kenapa disini gue tertarik membahas fenomena selfie? Apa gue
anti dengan selfie? Tidak. Buktinya, gue beberapa kali pernah selfie dengan
teman gue. Namun, kenapa gue membahas selfie di sini, karena gue merasa ini
adalah fenomena yang unik.
Keunikan pertama adalah, dengan selfie kita bisa melihat
diri kita sendiri di kamera dan tanpa harus meminta bantuan orang lain untuk
memotret kita. Enak dong kalau begitu? Tidak juga sih, karena jika selfie kita
bisa melihat diri kita sendiri. Beruntung bagi yang wajahnya cakep, maka ia
akan pede menatap ke arah kamera.
Sedangkan bagi yang berwajah pas-pasan seperti gue, maka ia akan langsung
pesimis dan berkata, “Itu beneran muka
gue? Gak mungkin, masak jelek banget sih. Ini pasti efek kameranya,” Itulah
alasan kenapa gue tidak suka selfie, karena gue minder melihat wajah gue
sendiri.
Bahkan, tidak sedikit yang kecanduan dengan namanya selfie.
Se-jam tidak selfie ia akan merasa pusing-pusing, lalu sehari tidak selfie ia
akan merasa lemas, dan seminggu tidak selfie ia akan mengalami lupa ingatan tingkat
ringan, dan seterusnya. Maybe.
Tongsis, bicara selfie pasti tidak akan terlepas dari yang
namanya tongsis alias tongkat narsis. Atau mungkin, gue lebih sering menyebutnya, tongkat sinting! Sebuah alat ajaib, di mana dengan alat
tersebut kita bisa memotret diri kita dari kejauhan. Sebuah inovasi yang
kreatif, namun agak sedikit membingungkan. Kenapa harus memotret dari kejauhan,
jika bisa memotret dari dekat? Mungkin ada yang memiliki alasan: supaya mampu
memotret orang dalam jumlah yang banyak dan semua tertangkap di kamera. Bagi
yang suka selfie ramai-ramai, sekitar 20-50 orang sekali selfie, gue cuma mau
bilang: “Woii, lo itu mau selfie atau mau
gotong royong? Banyak banget yang ikut foto,”
Kembali bicara tongsis, walaupun fungsinya agak
membingungkan, namun gue salut dan memberi banyak jempol bagi pencipta tongsis.
Di mana, ia memiliki ide kreatif dan out
of the box. Bayangkan saja, di saat semua orang terhanyut dengan asyiknya
berselfie-ria, tapi masih sempat-sempatnya ia menciptakan sebuah terobosan baru
dan tidak terpaku dengan apa yang sudah ada. Keren! Gue harap, bagi penemu
tongsis bisa memperbarui lagi teknologi tongsis. Mungkin dari segi ukuran dan
panjangnya, bisa lebih diperpanjang lagi sekitar, 2-3 meter. Agar setelah
digunakan selfie, tongsis itu bisa digunakan untuk nyolong mangga di rumah Pak RT. Atau mungkin, tongsis bisa dibuat dengan teknologi telepati. Misalnya,
ketika kita berada di Jakarta, tetapi secara bersamaan kita bisa berfoto
langsung dengan saudara kita yang ada di Jogja. Keren gak, tuh?
Boleh saja kita eksis dan narsis dengan selfie, namun ingat, jangan jadikan selfie itu sebagai kebutuhan primer. Apalagi, jika sampai selfie dengan rata-rata 100 foto per hari dan semua itu hasil 'merampas' handphone teman dengan berkata: "Hp lo bagus deh, boleh minjem gak buat nge-test kamera?" Hmm, Selfie: tren remaja masa kini, masa gitu sih?
Jika ada yang ingin bertanya atau sekedar sharing, silahkan
isi coment box di bawah J
0 komentar:
Post a Comment