Tinggal di Jakarta adalah idaman bagi semua orang. Tak
terkecuali gue, pemuda asal Surabaya yang tidak memiliki masa depan cerah.
Alasan awal gue pindah ke Ibukota, karena gue menganggap bahwa Jakarta adalah
“surga-nya” Indonesia. Hampir semuanya ada di Jakarta, mulai dari banjir,
macet, sampai macet di dalam banjir pun ada. Tapi bukan itu semua yang gue
cari, melainkan tantangan.
Nah, bicara soal tantangan, gue ingin sedikit membahas
tentang ‘tantangan’ yang gue alami pada saat pindah ke Jakarta. Lebih tepatnya
adalah, tantangan dalam hal gaya bahasa. Buat lo yang ingin ke Jakarta, entah
ingin menjadi artis, crew TV, atau
bahkan baby sister, silahkan simak
sedikit ulasan dari gue ini.
“Jeng, aku boleh minjem catetan kamu gak?” kata gue, sambil
mendekat ke arah Ajeng.
“Eits, elu ngapain pakek aku kamu sih? Kaya orang pacaran aja dah,” jawab Ajeng sewot.
“Emang kenapa, kalau aku ngomong pakek aku-kamu?” tanya gue bingung.
“Elu keliatan aneh banget, SUMPAH, ANEH!”
Percakapan di atas, adalah percakapan nyata gue dengan
Ajeng, teman sekelas gue di semester satu kemarin. Dari situ gue mulai
berpikir, memang apa yang salah dengan kata “aku” dan “kamu” tersebut? Apakah
di kalangan remaja Jakarta, menggunakan kata “aku-kamu” itu termasuk haram? Dan
setelah gue tinggal beberapa bulan, akhirnya gue mengerti satu hal. Bahwa ini
bukan soal suka atau tidak suka, melainkan karena kebiasaan. Ya, mereka (remaja Jakarta) sudah terbiasa
dengan kata “gue-elu” dan menganggap itu sebagai bahasa primer mereka. Singkat kata,
mau tidak mau gue pun harus mengikuti kebiasaan mereka, agar gue bisa diterima
dan tidak terlihat aneh bin bego di hadapan mereka.
Semakin ke sini, gue pun semakin sadar bahwa bahasa “aku-kamu” sedikit susah untuk digunakan di Jakarta. Khususnya, di kalangan remaja pria. Gue tidak bisa membayangkan jika bahasa tersebut digunakan antara pria dengan pria. Mungkin akan jadi seperti ini;
Semakin ke sini, gue pun semakin sadar bahwa bahasa “aku-kamu” sedikit susah untuk digunakan di Jakarta. Khususnya, di kalangan remaja pria. Gue tidak bisa membayangkan jika bahasa tersebut digunakan antara pria dengan pria. Mungkin akan jadi seperti ini;
“Hai, Rendy kamu lagi apa?” tanya si Joko menyapa Rendy.
“Apaan sih elu, pakek aku-kamu segala,” jawab si Rendy sewot.
“Kamu kok jahat gitu sama aku, sih? Emang, aku salah apa sama kamu?”
“Plisss, jangan ngomong pakai aku-kamu lagi!”
“Emang kenapa, Ren?”
“Kayak orang MAHO bego!”
Dari ilustrasi di atas, gue saranin bagi lo, khususnya cowok
yang ingin merantau ke Jakarta, jangan pernah sekali-kali menggunakan kata
“aku-kamu” dengan sesama cowok. JANGAN!
Namun ingat, walaupun menggunakan bahasa “gue-loe,” tapi lo
harus tau porsinya dan jangan sampai bahasa itu salah sasaran. Maksudnya salah
sasaran? Misalnya: lo ngomong dengan dosen menggunakann bahasa “gue-loe” di
dalam kelas. Bukannya dianggap gaul atau keren, yang ada lo malah akan dilempar, sama papan tulis.
Tulisan di atas, gue buat bukan bermaksud untuk membuat
kalian melupakan bahasa asli atau bahasa daerah kalian. Gue membuat tulisan
ini, hanya untuk sekedar sharing sedikit
tentang pengalaman gue di Jakarta.
Jika ada yang ingin bertanya atau sekedar sharing, silahkan
isi coment box di bawah J
0 komentar:
Post a Comment